LELAKI ANGKLUNG
(Melihat Dengan Hati)
Mereka berbeda, terselip diantara manusia-manusia normal
yang tak peduli bahkan mencerca mereka. Sangat sedikit orang yang mengerti isi hati
mereka dan menerima mereka apa adanya. Mereka terpinggirkan dan terbuang, serta
terseok menjalani kehidupan.
Selama ini penyandang cacat atau yang kita kenal dengan disabilitas
sering dipandang sebelah mata. Kondisi fisik mereka yang tidak sempurna seringkali
membuat mereka terasing dan rendah diri. Namun dari kondisi mereka yang kurang tersebut
terkadang kita dapat menemukan banyak hal yang mungkin dapat mempengaruhi hidup
kita di masa depan.
Okay, akan kuceritakan sebuah kisah yang merubah cara pandangku
tentang penyandang disabilitas dan melihat sisi lain manusia.
Dimulai dengan perjumpaanku dengannya di suatu siang beberapa
tahun silam,
Jauh di tengah hiruk pikuk kota Yogyakarta. Diantara lalu lalang
pejalan kaki Malioboro, seorang lelaki paruh baya menjual suara. Bukan suaranya
namun suara musiknya. Unik dan indah. Tangannya cekatan memainkan deretan
potong bambu dengan bunyi berbeda di setiap batangnya. Ia hanya tersenyum setiap
kali mendengar suara recehan jatuh dalam gelas plastic di hadapannya.
Yah, mungkin aku memang bukanlah penggemar music, bahkan aku
buta akan music. Namun angklung selalu menjadi alat music favoritku sejak pertama
kali aku mendengarnya walau hingga kini aku tak bisa memainkannya. Meski begitu
aku tetap mengagumi suara yang keluar dari instrument satu itu, dan suara angklung
terindah bagiku adalah milik lelaki itu.
Entah mengapa aku merasa seakan ada kisah yang mendalam dari
permainannya. Ada sesuatu yang berbeda yang hingga kini kuyakini sebagai suatu bentuk
ketulusan.
Tak ada yang special dari lelaki itu kecuali karena kecintaannya
pada angklung dan karena ia seorang tuna netra. Setiap hari ia datang dan duduk
di tempat yang sama, waktu yang sama dan perlengkapan yang sama kecuali pakaiannya.
Dan yang membuatku lebih takjub lagi karena ia tetap berusaha meski dalam keterbatasan
dan bertahan untuk tidak hanya menadahkan tangan, setidaknya ia menjual
sesuatu.
Ia tak melihat dengan mata, namun suara indah yang
dihasilkan dari permainannya seakan mengisyaratkan bahwa ia telah terbiasa menerka
apa yang tak dapat ia lihat dan memproyeksikannya dalam hati. Berusaha memahaminya,
aku merasa bahwa diriku selama ini jauh dari gambaran perduli akan keterbatasan
orang-orang senasib lelaki itu.
Dan ketika kini ia mulai terlupakan dan tergeser oleh para
musisi jalanan yang mengangkat angklung sebagai daya tariknya, aku masih mengingatnya
meski aku tak tahu apa pun tentang dirinya kecuali apa yang kulihat, kudengar dan
kurasakan dari permainannya. Bagiku bahasanya sudah cukup mewakili kelebihan dalam
kekurangan dirinya.
Banyak orang mengatakan bahwa tak ada yang dapat dijual dari
seorang cacat kecuali kemalangannya. Rasa kasihan akan memberikan banyak recehan
ke kantong mereka seolah hanya itu aset yang dimilikinya. Namun lelaki itu memberikan
fakta yang berbeda tentang apa yang dapat dilakukan penyandang disabilitas seperti
dirinya. Bahkan darinya pula aku dapat mengerti bahwa penyandang disabilitas bukanlah
orang buangan. Mereka tak jauh berbeda dengan kita, bahkan terkadang mereka justru
lebih menghargai hidup daripada manusia normal di sekitarnya, dengan cara yang
berbeda tentunya.
Namun meski aku berpikir dan mulai peduli pada penyandang disabilitas,
pada kenyataannya masih ada jutaan orang di luar sana yang belum dapat menghargai
mereka dan masih memandang mereka dengan sebelah mata.
Aku merasa beruntung karena dapat memandang penyandang
disabilitas dari sudut yang berbeda, dan aku berharap kalian juga begitu. Setidaknya
kita dapat belajar dari mereka tentang bagaimana melihat sesuatu dengan lebih
nyata. Tak selamanya apa yang kita lihat adalah benar, maka belajar melihat
dengan hati tentang segala yang ada di sekitar kita adalah hal yang penting.
Aku sadar bahwa yang mereka butuhkan hanyalah dukungan,
pengertian dan ketulusan. Oleh karena itu aku berharap agar kita dapat lebih memahami
mereka, mendengar mereka meski mereka tak bersuara, menjadi mata bagi penglihatan
mereka yang tak berwarna, menjadi penopang mereka ketika tubuhnya tak kuasa berdiri
dengan tegak dan menjaga hati mereka agar tak lagi terluka, serta bertekat untuk
hidup lebih baik lagi dengan tidak menyia-nyiakan anugerah yang Tuhan berikan.
Semoga kisah kecilku ini dapat membuat kita melihat dunia mereka
dengan bijaksana dan dengan cara yang berbeda.
“Sahabat yang baik bagi mereka
bukanlah rasa kasihan, tapi pengertian”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar