http://www.pusakaindonesia.org |
Karakter
Pancasila, Jatidiri Bangsa
oleh : Marina Galuh Kirana
Globalisasi
memberikan dampak yang besar pada hampir semua sektor kehidupan,
khususnya bidang iptek dan teknologi informasi. Kedua bidang tersebut
mengalami kemajuan yang signifikan dari tahun ke tahun. Kondisi
tersebut tampak dari perkembangan berbagai fasilitas teknologi dan
informasi yang semakin canggih dan memudahkan setiap orang untuk
mengakses berbagai berita dan informasi dari seluruh dunia dengan
memanfaakan fasilitas internet.
Internet
menjadi semacam jendela bagi masyarakat untuk melihat, mendengar dan
mengenal dunia beserta budaya negera-negara di seluruh belahan dunia
dengan jelas. Masyarakat dapat mengikuti perkembangan tren, gaya
hidup dan kebudayaan di tiap negara dengan sangat mudah. Bahkan
Indonesia turut terlarut dalam arus modernisasi dan gaulisme luar
negeri.
Tidak
ada yang salah dengan hal tersebut selagi masih sebatas wajar. Namun
ketika perkembangan tersebut sudah melewati batas norma-norma
kesopanan, agama dan norma-norma lain yang berlaku di Indonesia, maka
hal tersebut tidak dapat dibiarkan.
Seperti
yang kita tahu bahwa negeri ini telah mengalami banyak perubahan dari
mulai jaman kerajaan hingga saat ini. Ada perkembangan positif, namun
banyak pula yang negatif. Wajar saja sebenarnya, tapi perlu disadari
bahwa perkembangan tersebut mulai terasa sangat menghawatirkan dan
mengancam masa depan bangsa ini.
Terdengar
berlebihan, namun itulah kenyataannya. Bangsa ini mulai kehilangan
jatidirinya sebagai bangsa Indonesia, bangsa yang berbudaya, bangsa
yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan kearifan lokal tanah ibu ini.
Mengamati
lingkungan sekitar, ada banyak hal yang mengindikasikan lunturnya
jatidiri bangsa ini. Parahnya kondisi tersebut justru berkembang
pesat di kalangan anak muda dan remaja yang notabene merupakan aset
bangsa di masa depan.
Kaum
muda jaman sekarang terkesan “memuja” budaya luar dan malu dengan
budaya negeri sendiri. Mayoritas dari mereka yang menjadi korban
modernisasi merasa bangga ketika mereka berpakaian serba mini dan
terbuka, namun malu atau terpaksa ketika harus mengenakan kebaya dan
pakaian adat Indonesia, mereka bilang itu kuno. Mereka merasa percaya
diri ketika berjalan di tengan kota atau di mal dengan rambut
berwarna warni, namun ketika mereka harus mengenakan sanggul mereka
merasa tersiksa. Menyanyikan lagu-lagu modern terasa lebih
menyenangkan daripada menyanyikan lagu tradisional. Bahkan peminat
tari daerah kini menjadi minoritas dibandingkan dengan tari modern
yang ngetrend akhir-akhir ini.
Lalu
bagaimana dengan bahasa? Tentu hal ini perlu diperjelas karena bahasa
Indonesia mulai tercemar oleh pengaruh bahasa-bahasa gaul dan bahasa
berlebihan yang disebut bahasa alay. Generasi sekarang bahkan
anak-anak kecil jauh lebih mengenal bahasa gaul dan alay dari pada
bahasa Indonesia yang benar. Bahkan kondisi ini menjadi lucu ketika
seseorang dianggap ketinggalan jaman jika tidak tahu tentang
bahasa-bahasa itu. Lalu bagaimana dengan bahasa kita sendiri? Bahasa
Indonesia? apakah kita juga merasa malu jika tidak dapat berbahasa
Indonesia dengan benar?
Kondisi
di atas merupakan dampak nyata dari pengaruh budaya luar yang tidak
terkontrol sehingga menggusur keberadaan budaya-budaya Indonesia dan
menggerogoti identitas bangsa ini. Keadaan ini menjadikan identitas
bangsa ini semakin kabur dan abstrak. Sebuah ironi lain mengingat
Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya dan kebinekaannya.
Namun demikian hal tersebut bukanlah masalah terbesarnya. Masalah
utamanya adalah ketika kita meresapi pelanggaran moral di Indonesia
yang kerap kali terjadi.
Bangsa
ini tampaknya mulai melupakan etika dalam kehidupan bermasyarakat.
Tata krama, menghormati orang yang lebih tua, sopan santun,
kepedulian terhadap lingkungan dan lain sebagainya menjadi suatu
indikasi kemerosotan nilai etika di masyarakat. Indikasi tersebut
diperjelas dan diperparah dengan berbagai tayangan televisi yang
membiasakan masyarakat untuk mendengar dan melihat adegan saling
menghina, berkata kasar, melawan orang tua, melawan guru serta
eksplorasi karakter antagonis yang terkadang terlalu berlebihan
sehingga sedikit banyak memberi dampak negatif dalam budaya etika
masyarakat.
Belum
lagi masalah etika terselesaikan, masalah ketaatan hukum dan
peraturan menjadi masalah yang tidak terelakkan. Kriminalitas dan
berbagai pelanggaran peraturan hukum selalu terpampang di berbagai
media berita baik media massa, maupun media cetak. Setiap harinya
selalu muncul berita-berita baru yang terdengar miris mengingat
Indonesia adalah negara hukum. Bahkan yang menjadi janggal namun
biasa adalah ketika di masyarakat berkembang argumen bahwa “aturan
ada untuk dilanggar”. Sungguh ironis.
Selain
etika dan hukum, permasalahan negeri ini yang sekarang selalu menjadi
sorotan adalah masalah integritas masyarakat dan pemerintah yang
amburadul. Korupsi adalah produk terlaris dari amburadulnya
integritas bangsa ini, dan korupsi pula yang membuat Indonesia
menjadi negara miskin ketika seharusnya negara ini dapat menjadi
negara kaya dengan segala yang dimiliki. Bukanlah hal yang heboh
ketika korupsi menjadi jawaban dari semua patologi birokrasi di
negeri ini.
Lalu
bagaimana dengan prinsip menghormati hak-hak orang lain? Indonesia
tampaknya sangat ahli dalam mengingkari prinsip ini dan kita harus
mengakui itu. Lunturnya penghormatan terhadap hak-hak orang lain
membuat Indonesia sering mengalami gejolak. Dengan kebinekaan
Indonesia, penghormatan hak-hak individu satu sama lain adalah
perekat persatuan yang paling ampuh. Namun ketika hal tersebut lemah,
yang terjadi tentunya sudah dapat ditebak. pertikaian, pembunuhan,
peningkatan kriminalitas, saling menghina, korupsi hingga berulang
kali terjadi perang oleh beberapa daerah untuk menuntut kemerdekaan
sendiri. Kerugian yang begitu besar karena satu prinsip penting.
Prinsip
lain yang sering dikesampingkan adalah prinsip untuk bertanggung
jawab terhadap tugas yang diemban. Itulah mengapa Indonesia tidak
dapat menjadi seperti negara lain dengan etos kerja yang tinggi,
misalnya Jepang. Prinsip ini terkait pula dengan prinsip senang
bekerja dan malu bermalas-malasan. Rendahnya tanggung jawab manusia
Indonesia terhadap tugas dan kewajibannya pun merupakan bentuk dari
sifat malas serta menganggap kewajibannya sebagai beban. Kondisi
tersebut membuat kinerja negeri ini menjadi lambat dan kurang dapat
dipertanggung jawabkan.
Semua
prinsip tersebut disempurnakan dengan karakter masyarakat Indonesia
yang konsumtif, boros dan tidak berpikir panjang dalam
menginvestasikan masa depannya. Karakter ini menjadikan mayoritas
manusia Indonesia sebagai manusia yang pasif dan ceroboh.
Banyaknya
pelanggaran dan penyimpangan prinsip-prinsip tersebut nyatanya
memberikan dampak yang begitu besar dalam pembentukan karakter
Indonesia. Bangsa ini seakan menjadi terbiasa dengan berbagai
pelanggaran nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip tersebut. Kondisi
itu menjadikan bangsa Indonesia tidak terbiasa untuk meluruskan dan
memperbaiki kerusakan moral yang terjadi. Tampaknya hal tersebut
telah menjadi suatu budaya hidup masyarakat Indonesia kini.
Tidaklah
aneh jika setelah lebih dari 67 tahun Indonesia merdeka kita masih
saja berjalan di tempat bahkan perlahan mulai mengalami kemerosotan.
Karakter negeri ini masih sangat labil, fase ini adalah fase yang
paling berbahaya. Apabila tidak segera diperbaiki maka perlahan tapi
pasti Indonesia akan kehilangan karakternya dan kehilangan
jatidirinya.
Menguatkan
Karakter Pancasila
Melihat
krisis karakter yang tejadi di negeri ini maka peran pendidikan
karakter menjadi sangat penting, terutama karena krisis yang terjadi
telah menggerogoti bangsa ini hingga ke akarnya.
Sudah
saatnya pemerintah Indonesia berkonsentrasi pada perbaikan karakter
bangsanya. Sudah bukan saatnya lagi Indonesia membahas bobroknya
moral dan karakter bangsa ini sebagai wacana muluk namun tidak
terlaksana karena tertutup masalah politik yang tidak ada habisnya.
Pendidikan
karakter seharusnya mulai disejajarkan sebagai focus pembangunan
sejalan dengan pembangunan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sector
lainnya. Indonesia
harus menjadi negara dengan karakter yang kuat agar menjadi negara
yang kuat pula. Tidak hanya kuat, dengan semua yang dimiliki
Indonesia, seharusnya bangsa ini pun dapat menjadi bangsa yang
unggul. Namun untuk menjadi bangsa yang unggul, Indonesia harus mulai
menginvestasikan individu-individu unggul yang pantas menjadi
generasi penggerak pembangunan negeri ini.
Lalu
apa saja kriteria individu berkarakter unggul itu? Jawabannya
terletak pada dasar Negara kita, pancasila. Lima sila dalam pancasila
mewakili semua kriteria yang diperlukan. Bahkan dapat dikatakan bahwa
pancasila merupakan bentuk lain karakter unggul bangsa Indonesia,
tentunya apabila diterapkan dengan baik dan benar.
Namun
sayangnya pancasila yang juga merupakan ideologi Negara ini pun mulai
tergerus arus globalisasi dan perlahan kehilangan perannya.
Penghayatan dan penerapan lima sila pancasila tersebut sesungguhnya
sudah sangat cukup untuk merubah bangsa Indonesia menjadi bangsa yang
berkarakter. Namun kesadaran akan pancasila tampaknya harus mulai
dipupuk kembali sejak dini.
Pancasila
semestinya bukan lagi hanya sebatas bahan hapalan dari materi
pelajaran kewarganegaraan, pancasila semestinya tidak hanya didengar
keika upacara bendera, semestinya pancasila dipelajari, diresapi,
dimengerti dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sejak dini.
Tidak
pernah ada kata terlambat untuk sebuah perbaikan, yang ada hanyalah
ketakutan akan adanya perubahan, dan itu adalah penyakit pemerintah
kita. Untuk itu, sejak dini perlu adanya upaya pembentukan karakter
berbasis pancasila sebagai investasi masa depan bangsa ini. Bukan
perkara mudah memang, tapi harus dicoba.
Pancasila
harus tertanam kuat dalam hati rakyat Indonesia karena pancasila
merupakan dasar negara kita, ideology bangsa ini dan jatidiri bangsa
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar