TENTANG PILIHAN…
Seseorang
(yang aku lupa namanya karena kami baru saja berkenalan dalam sebuah event
pelatihan dan aku tak terlalu bagus dalam mengingat nama) pernah bertanya
padaku tentang pilihan masa depan. Bukan sesuatu yang serius mungkin, tapi aku
rasa ini penting untuk dipertimbangkan.
Dia
bertanya apakah jika sudah menikah nanti
aku akan tetap bekerja atau cukup menjadi ibu rumahtangga biasa?
Aku
bingung untuk menjawab karena sejujurnya belum terlintas dalam pikiranku
tentang kehidupan setelah aku lulus kuliah nanti, semua masih abstrak dan belum
terkonsep dengan baik. Bahkan sama sekali tak ada pernikahan dalam pikiranku
saat ini. Tapi yah siapa yang tahu akan ada pertanyaan menggelikan seperti ini.
So, aku mencoba berkelana mencari gambaranku tentang masa depanku setelah
menikah (perhatian! Aku bukan para normal. Ini hanya bentuk eksistensi sisi
lebai dalam kosa kataku). Dan Yip! Aku tahu jawabannya. Aku akan tetap bekerja tak peduli sekaya apapun suamiku nanti. WhY? Dia bertanya dengan serius.
Aku diam sejenak mencari alasan
yang tepat.
“hm, kupikir karena aku
bukanlah orang yang betah berlama-lama berdiam diri tanpa berkarya. Aku
mempunyai banyak mimpi yang satu persatu telah gugur karena berbagai
pertimbangan dan lewatnya kesempatan. Aku memiliki keluarga yang harus
kutanggung. Aku tak ingin merepotkan suamiku kelak dan membebani pikiran
suamiku dengan masalah keluargaku atau orang-orang yang ingin kubahagiakan.
Akupun tak ingin membuat otakku berkarat dan membiarkan ilmu yang selama ini
kucari menguap karena tak kugunakan semaksimal mungkin. Bahkan mimpi terbesarku
adalah untuk mencapai gelar tertinggi dalam pendidikan. So, aku membutuhkan
banyak biaya untuk itu. Aku tak ingin membebani suamiku dengan ambisiku, ia
cukup menghidupiku dan anak-anakku saja. Lagipula aku bukanlah orang yang suka
terlalu bergantung pada orang lain. Bukannya aku ingin mengucilkan suamiku,
tapi hidup adalah pilihan dan aku pikir wajar jika aku menuntut hakku sebagai
wanita modern dengan catatan aku tak menelantarkan kewajibanku dan peranku
sebagai istri dari suami dan ibu dari anak-anaku kelak.”
Ia
Nampak mencerna alasanku. Dan setelah itu kami disibukkan dengan materi
pelatihan yang cukup sulit. Namun setelah itu aku kembali berpikir, aku
bertanya lagi pada hatiku tentang alasanku itu. Aku merasa janggal sekaligus
merasa bersalah karena tidak dapat mengatakan yang sejujurnya pada dirinya. Sejujurnya aku hanya takut jika suatu hari
aku harus menghadapi berbagai permasalahan dalam rumah tanggaku baik dalam
finansial atau bahkan kemungkinan terburuk yaitu perceraian maka aku tak akan
kehilangan peganganku dengan dramatis. Yah kita harus memikirkan segala
yang terburuk yang mungkin terjadi bukan?
Aku
pernah bertukar pikiran dengan kakak sepupuku yang menjadi janda setelah
bercerai dengan suaminya. Aku bertanya padanya tentang alasan perceraiannya dan
ia menjawab :
“apa lagi yang bisa kita
lakukan ? jika hati ini sudah tak lagi terpaut dan hanya sakit yang dirasa? Aku
memilih untuk berpisah bukan semata karena egoku. Aku memilih untuk
menyelamatkan anak-anakku. Aku memilih untuk berdiri sendiri, berdikari tanpa
tersakiti. Karena bersamanya tak beda dengan tahanan dalam penjara kenistaan.
Dengannya aku tak berharga, tak berdaya, tak berkarya dan tak bicara. Namun
kini kubuktikan bahwa keyakinan diri ini tak hanya sebatas kata berbumbu
intuisi. Aku berdiri dengan kebahagiaan dan masa depan anakku terlukis jelas
nan indah di masa mendatang dan aku tak pernah menyesal dengan keputusanku.”
Yah
aku salut padanya, kini dia benar-benar menjadi sukses dengan kemampuannya
sendiri. Ia yang dulu meringkuk berhadapan dengan kekerasan, pengekangan dan
penyiksaan dapat berjalan tegap dan membuktikan dirinya pada dunia. Yah,
darinya aku mendapat sedikit trauma akan rumah tangga, namun aku pun menangkap
semangat, keberanian, dan juga inspirasi dari sosoknya.
Aku
pun berharap agar banyak perempuan di luar sana dapat bahagia dengan
kehidupannya masing-masing.