aKU

aKU

Kamis, 19 Juli 2012

PeRUbahAn


Ku jalani hariku begitu saja…mengalir seperti air. Sebisa mungkin ku jauhkan segala pikiran yang membebaniku…flat…sama…dan sama…begitulah hariku berlalu selama ini. senyum selalu tersungging di sudut bibirku, tawa mengembang bersama hingar bingar yang kuhadapi, namun entah di sudut hatiku aku bertanya,

“apa yang kutertawakan? Bukankah itu hanya lelucon yang sama seperti waktu itu. Apa yang bisa ku banggakan? Bukannkah kau hanya orang biasa dengan cerita-cerita yang biasa pula. Apa yang kau bicarakan? Bukankah dalam setiap detil kisahmu tak lebih dari penjabaran kisah-kisah dalam buku. Untuk apa kau hidup? Hanya untuk bernafas dalam belenggu ketakutanmu akan perubahan?”

Semua pertanyaan itu membuatku tersadar akan kebodohanku…
Aku tak bisa terus menjadi air yang selalu mengikuti jalur yang terus mengatur…sudah saatnya aku menjadi angin yang bergerak bebas ke mana pun ku ingin…terbang melayang menikmati ciptaan tuhan, bertualang mencari jati diri yang hingga kini tak kuyakini telah ku miliki.
Sebuah panggilan yang sungguh selalu hanya menjadi mimpi ketika kutakut melangkah, dulu. Kini kujajaki dengan langkah pasti, dengan segenap asa yang ku bawa, ku dapati diriku Berjaya pada titik pemikiran yang buatku kian dewasa.
Hanya jejak-jejak kenekatan yang membuatku tak lagi terikat…
Akhirnya kusadari kebodohanku, mengapa tak sejak dulu ku sadari betapa aku memiliki sejuta mimpi yang ingin ku gapai…


“Mimpiku adalah untuk bisa menapaki jejak-jejak keindahan sang alam, meresapi setiap hela nafas kehidupan dan khusyuk dalam setiap sujut yang kulakukan. Menciptakan senyum abadi untuk kedua orang tuaku dan menebar senyum pada bibir-bibir indah yang tak seharusnya menangis. Karena makna kehidupan yang sesungguhnya adalah ketika kita tertawa maka mereka pun tertawa, bukan menangis. Dan ketika kita menangis, mereka akan turut menangis, bukan mentertawakan. Karena bagiku…hidup takkan menjadi sia-sia ketika kau bisamembuat semua orang menerimamu utuk tanpa mengeluh.”

Setidaknya itu yang dapat … pemahaman yang merubah segalanya……

“Bagiku, orang yang kalah adalah orang yang tidak berani merubah dirinya untuk menjadi lebih baik lagi.”

B@p@K

Begitu banyak kenangan terukir jelas dalam ingatan. Tangis dan tawa beriringan terjalin menjadi untaian kisah indah dalam hidupku. Semua kenangan itu tercetak jelas dalam sosoknya yang telah renta.  Bapak, sosok yang menjadikanku wanita tegar yang mampu berdiri tegak menghadapi segala tantangan. Tuturnya membagikan semangat dan petualangan hingga aku mampu memiliki mimpi yang bisa ku kejar dan selalu ingin kuwujudkan. Garis-garis usia yang kini menghiasi wajah teduhnya membuatku tersadar betapa ia telah berkorban begitu banyak untuk keluarganya, untukku.
Masih jelas dalam ingatanku ketika bapak memboncengku dengan sepeda tuanya menyusuri setiap inci jalanan kota Yogyakarta. Berkeliling mencipta kenangan dan merekah tawa dalam setiap kayuhan sepedanya. Tubuh mungilku terduduk mantap di sadel boncengan dengan kedua kaki terikat ke depan menggunakan selendang tari milikku. Lucu jika ku ingat kembali saat-saat itu hingga sesekali akupun tersipu. Bukan, bukan malu tapi rindu. Yah rindu pada masa-masa itu, namun hal itu sudah tak mungkin lagi mengingat kakiku kini terlalu panjang untuk bisa terikat ke depan dengan mantap seperti dulu.
“kenapa kakinya harus diikat? Kan malu.” Tanyaku pada bapak saat pertama kali ia mengikat kakiku dulu. Ia tersenyum lalu menjawab,”mengapa Nanda harus malu? Semua demi keselamatanmu.” Jawabnya sambil mengelus rambutku.
Sebuah percakapan biasa antara seorang bapak dengan anak gadisnya. Namun percakapan yang biasa itu nyatanya membekas jelas dalam ingatan karena dari percakpan itulah aku benar-benar merasa bahwa bapak menganggapku begitu berharga hingga tak mau aku terluka. Dan dari situlah petualanganku dan bapak dimulai. Tak hanya mengelilingi kota ataupun menyusuri gang-gang tikus belaka, tak jarang bapak mengajakku menyambangi tempat-tempat baru seperti di bawah jembatan dengan rel kereta api di sana untuk sekedar melihat lalu lalang kereta api dari tempat paling strategis. Kami membuat mimpi untuk bisa naik  kereta bersama hingga akhirnya bapak memboyongku dalam sebuah perjalanan bersama ibu dan adikku, naik kereta!!!
Tak cukup sampai di situ, bapak selalu bisa mejadi sosok bijaksana hingga aku bisa memahami bahwa terkadang keterbatasan lebih bermakna ketika kita bisa memahaminya dengan bijaksana.
Aku tengah termenung di teras rumah ketika bapak pulang dari tempat kerjanya. Dengan peluh yang masih membasahi dahi ia menyadarkanku dengan suara lembutnya dan bertanya mengapa aku melamun. Aku yang tak sadar akan kehadirannya spontan menjawab “pengen naik pesawat.” Kini jika kuingat kembali kata-kata itu, aku merasa tak enak hati karena keadaan perekonomian kami tak begitu bagus. Entah apa yang dipikirkan bapak saat itu, yang jelas pada hari minggu paginya bapak mengajakku pergi dengan sepedanya. Saat itu aku tak tahu kemana bapak akan membawaku pergi, yang jelas arahnya berbeda dari yang biasanya.
Aku sempat tertidur karena jauhnya perjalanan yang kami tempuh. Hingga bapak membangukanku dan ku dengar suara gemuruh pesawat terbang yang tinggal landas di hadapanku. Meski terbatas pagar dan pohon bamboo hias, aku masih bisa melihat burung besi itu dengan cukup jelas. Belum sempat aku bertanya, bapak pun mengatakan hal yang membuatku pilu.
“Lihat, didepan adalah bandara. Kita nggak bisa masuk ke dalam karena kita nggak punya uang. Maaf karena bapak hanya bisa memperlihatkan pesawat itu, tapi nggak bisa mengajakmu naik ke dalamnya. Mungkin nanti atau hingga bapak mati, bapak belum tentu bisa mengajakmu menaikinya seperti bapak mengajakmu naik kereta api tempo hari karena bapak bukan orang yang mampu. Makanya bapak berharap kamu bisa sukses dan bisa naik pesawat sesuai keinginanmu atau bahkan kamu bisa mengajak bapak dan ibumu suatu saat nanti.” Ujarnya sambil menatap lurus ke depan. Saat itu aku bertekat untuk bisa mewujudkan apa yang menjadi mimpi kami kala itu.
 Mungkin bagi banyak orang apa yang kurasakan saat itu hanyalah hal sepele, namun bagiku tak ada orang seberuntung diriku yang memiliki kenangan yang bisa kuceritakan dengan bangga karena aku memiliki bapak yang membanggakan pula.