Begitu
banyak kenangan terukir jelas dalam ingatan. Tangis dan tawa beriringan
terjalin menjadi untaian kisah indah dalam hidupku. Semua kenangan itu tercetak
jelas dalam sosoknya yang telah renta. Bapak,
sosok yang menjadikanku wanita tegar yang mampu berdiri tegak menghadapi segala
tantangan. Tuturnya membagikan semangat dan petualangan hingga aku mampu
memiliki mimpi yang bisa ku kejar dan selalu ingin kuwujudkan. Garis-garis usia
yang kini menghiasi wajah teduhnya membuatku tersadar betapa ia telah berkorban
begitu banyak untuk keluarganya, untukku.
Masih
jelas dalam ingatanku ketika bapak memboncengku dengan sepeda tuanya menyusuri setiap
inci jalanan kota Yogyakarta. Berkeliling mencipta kenangan dan merekah tawa dalam
setiap kayuhan sepedanya. Tubuh mungilku terduduk mantap di sadel boncengan
dengan kedua kaki terikat ke depan menggunakan selendang tari milikku. Lucu
jika ku ingat kembali saat-saat itu hingga sesekali akupun tersipu. Bukan,
bukan malu tapi rindu. Yah rindu pada masa-masa itu, namun hal itu sudah tak
mungkin lagi mengingat kakiku kini terlalu panjang untuk bisa terikat ke depan
dengan mantap seperti dulu.
“kenapa
kakinya harus diikat? Kan malu.” Tanyaku pada bapak saat pertama kali ia
mengikat kakiku dulu. Ia tersenyum lalu menjawab,”mengapa Nanda harus malu?
Semua demi keselamatanmu.” Jawabnya sambil mengelus rambutku.
Sebuah
percakapan biasa antara seorang bapak dengan anak gadisnya. Namun percakapan
yang biasa itu nyatanya membekas jelas dalam ingatan karena dari percakpan
itulah aku benar-benar merasa bahwa bapak menganggapku begitu berharga hingga
tak mau aku terluka. Dan dari situlah petualanganku dan bapak dimulai. Tak
hanya mengelilingi kota ataupun menyusuri gang-gang tikus belaka, tak jarang bapak
mengajakku menyambangi tempat-tempat baru seperti di bawah jembatan dengan rel
kereta api di sana untuk sekedar melihat lalu lalang kereta api dari tempat
paling strategis. Kami membuat mimpi untuk bisa naik kereta bersama hingga akhirnya bapak
memboyongku dalam sebuah perjalanan bersama ibu dan adikku, naik kereta!!!
Tak
cukup sampai di situ, bapak selalu bisa mejadi sosok bijaksana hingga aku bisa
memahami bahwa terkadang keterbatasan lebih bermakna ketika kita bisa memahaminya
dengan bijaksana.
Aku
tengah termenung di teras rumah ketika bapak pulang dari tempat kerjanya.
Dengan peluh yang masih membasahi dahi ia menyadarkanku dengan suara lembutnya
dan bertanya mengapa aku melamun. Aku yang tak sadar akan kehadirannya spontan
menjawab “pengen naik pesawat.” Kini jika kuingat kembali kata-kata itu, aku
merasa tak enak hati karena keadaan perekonomian kami tak begitu bagus. Entah
apa yang dipikirkan bapak saat itu, yang jelas pada hari minggu paginya bapak
mengajakku pergi dengan sepedanya. Saat itu aku tak tahu kemana bapak akan
membawaku pergi, yang jelas arahnya berbeda dari yang biasanya.
Aku
sempat tertidur karena jauhnya perjalanan yang kami tempuh. Hingga bapak
membangukanku dan ku dengar suara gemuruh pesawat terbang yang tinggal landas
di hadapanku. Meski terbatas pagar dan pohon bamboo hias, aku masih bisa
melihat burung besi itu dengan cukup jelas. Belum sempat aku bertanya, bapak
pun mengatakan hal yang membuatku pilu.
“Lihat,
didepan adalah bandara. Kita nggak bisa masuk ke dalam karena kita nggak punya
uang. Maaf karena bapak hanya bisa memperlihatkan pesawat itu, tapi nggak bisa
mengajakmu naik ke dalamnya. Mungkin nanti atau hingga bapak mati, bapak belum
tentu bisa mengajakmu menaikinya seperti bapak mengajakmu naik kereta api tempo
hari karena bapak bukan orang yang mampu. Makanya bapak berharap kamu bisa
sukses dan bisa naik pesawat sesuai keinginanmu atau bahkan kamu bisa mengajak
bapak dan ibumu suatu saat nanti.” Ujarnya sambil menatap lurus ke depan. Saat
itu aku bertekat untuk bisa mewujudkan apa yang menjadi mimpi kami kala itu.
Mungkin bagi banyak orang apa yang kurasakan
saat itu hanyalah hal sepele, namun bagiku tak ada orang seberuntung diriku
yang memiliki kenangan yang bisa kuceritakan dengan bangga karena aku memiliki bapak
yang membanggakan pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar